SULTRAKITA.COM. KENDARI – Koordinator Wilayah (Korwil) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tenggara (Sultra) bersama Dekan dan Akademisi Universitas Muhammadiyah (UMK) , serta Ketua Ombudsman perwakilan Sultra mengadakan diskusi publik disalah satu Hotel yang berada di Kota Kendari Selasa, (17/09/19).
Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Torop Rudendi mengatakan, diskusi publik ini membahas RUU Pertanahan dalam menyatukan perspektif terhadap masa depan kebijakan Agraria.
“Dalam diskusi kali ini ada beberapa krisis yang menjadi pembahasan yakni, ketimpangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis yang meluas, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, dalam penjelasan RUUP seharusnya menjawab lima krisis pokok agraria di atas yang dipicu oleh masalah pertanahan. Hal ini merujuk pada naskah RUUP yang terakhir yakni bahaya pengadaan Tanah dan Bank Tanah.
“Menurut UU terkait, pertanahan seharusnya menjadi basis bangsa dan negara kita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan pasal 33 UUD 1945, tap MPR IX TAHUN 2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA) dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) 1960,” paparnya.
Menurutnya, persoalan mendasar yang menjadi bahan diakusi dari RUU Pertanahan saat ini mencakup delapan hal yakni RUU pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960, masalah Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN), kontradiksi dengan agenda dan spirit reforma agraria (RA), Kekosongan penyelesaian konflik Agraria, Permasalahan Sektoralisme Pertananahn dan Pendaftaran Tanah, Pengingkaran terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat, dan Bahaya Pengadaan Tanah dan Bank Tanah.
“Berdasarkan kedelapan masalah pokok diatas, perwakilan gerakan masyarakat sipil, gerakan tani, masyarakat adat, nelayan, akademisi dan pakar agraria menyimpulkan bawa RUU pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideolagis, sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Mereka mendesak Ketua DPR RI dan Presiden RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU pertanahan,” tandasnya. (hani)