Oleh: RIAL HADI RAHMAWAN
KISAH Encik Sulaeman dan Raja Pati Pelong. SUOSUO adalah satu dari tiga benteng yang dibangun di Pulau Tomia pada zaman Kesultanan Buton.
Usia benteng diperkirakan sejak zaman terafiliasinya Wakatobi ke dalam wilayah Kesultanan Buton ditandai dengan dibentuknya Barata Kahedupa abad XVII yang dimasa itu seluruh masyarakat Pulau Tomia saling bergotong-royong membangun ketiga benteng.
Benteng Suosuo berada diwilayah administrasi Desa Kahianga, Kecamatan Tomia Timur. Berjarak sekitar 3 km dari pusat kecamatan. Benteng Suosuo berada di puncak gunung tertinggi Tomia, dibatasi tebing curam yang menjadikan benteng sulit ditembus musuh.
Material benteng terbuat dari batu gunung disusun tanpa perekat dengan luas kira-kira dua hingga tiga kali lapangan sepak bola. Terdapat tiga lawa (gerbang) pintu masuk benteng yaitu, Lawa Nata, Lawa Rakia, dan Lawa Liku Sofa. Lebar tembok benteng kurang lebih 1 hingga dua meter dengan tinggi tembok kurang lebih 1,5 hingga 6 meter.
Jauh sebelum dibangunnya benteng Suosuo, datang seorang mubaligh Islam bernama Encik Sulaiman yang mengislamkan penduduk Tomia. Dalam dialek lokal namanya menjadi Inci Sulaimani.
Jejak Islam banyak ditemukan di areal benteng. Sebelum memasuki benteng pada sisi luar terdapat makam Sibatara (Koburu Karama) yang merupakan anak Encik Sulaiman. Bagian dalam benteng Suosuo, terdapat mesjid tua yang dibangun Encik Sulaiman sekitar awal abad XVI.
Di samping mesjid arah selatan ada puncak tertinggi Tomia, dipercaya menjadi lokasi proses Temba’a Nu Komba (pengamatan hilal). Dari situ kita dapat melihat keliling daratan Tomia secara jelas, namun saat ini pandangan kita banyak dihalangi pepohonan besar yang menjulang tinggi.
Puncak Temba’a Nu Komba tepatnya berada di kompleks Pangkajene (bekas rumah Andi Baso Arung Lamatti dan perkampungan). Masih dalam kompleks Pangkajene bersebelahan dengan mesjid terdapat bekas Dawiah Insan Kamil yang dahulu merupakan tempat pendidikan agama Islam.
Ada sepenggal kisah berdasarkan sumber lisan dari La Ode Djafar (umur 63) yang merupakan cucu dari salah satu juru kunci Benteng Suosuo. Kisah yang telah menjadi memori kolektif sebagian masyarakat Tomia.
Dikisahkan bahwa orang pertama yang menerima Islam adalah Raja Patipelong. Konon hidayah mengetuk hati Patipelong penguasa saat itu yang bergelar Sangia Kombakomba. Ketika Encik Sulaiman berhasil menyembuhkan penyakit kulit yang diderita kedua putrinya Wa Singkujalima dan Wa Singkusariga.
Encik Sulaiman menikah dengan putri Patipelong bernama Wa Singkujalima dan dikaruniai anak bernama Sibatara. Setelah mengislamkan orang Tomia, Encik Sulaiman melanjutkan misi dakwah ke Indonesia bagian timur. Dakwah Islam kemudian dilanjutkan oleh putranya Sibatara dan dua murid Encik Sulaiman bernama Kafalijinni (Awaludin) dan Sampaga.
Pada suatu ketika terjadilah pertemuan antara Sibatara, Kafalijinni dan Sampaga. Mereka berdiskusi.
“Kai pooli ara tolu kanturu i lalo asa sapo” (tidak bisa ada tiga pelita dalam satu rumah). Sebagai strategi dakwah maka kemudian Kafalijinni Menuju Timu (Wilayah Timur Tomia, kemudian Sampaga menuju Waha (Wilayah bagian barat Tomia).
Akses benteng Suosuo masih dikatakan sulit karena belum ada jalan setapak dan pada bagian dalam dipenuhi rerumputan liar serta bebatuan tajam. Kondisi benteng memprihatinkan karena banyak bagian sisi yang runtuh terutama pada bagian Lawa Rakia yang sudah tidak berbentuk sempurna. Diantara sekian banyak benteng di Pulau Tomia, baru Benteng Patua yang mendapat perhatian lebih, dimana telah dibangun akses jalan setapak yang mempermudah pengunjung hingga kedalam bagian benteng. (*)