SULTRAKITA.COM, JAKARTA — Kebijakan Full Day School (FDS) yang dirumuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tak henti-hentinya menuai polemik. Banyak pihak yang mendukung kebijakan dari Menteri yang menggantikan Anies Baswedan ini, namun tak sedikit juga yang menolak dengan beragam alasan.
Tak terkecuali di Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal inilah yang coba dikonsultasikan komisi IV DPRD Sultra. Pasalnya, banyak siswa-siswi yang merasa bahwa kebijakan lima hari sekolah itu membuat mereka lelah dan tidak lagi memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga di rumah. Selain itu, mereka juga merasa beban mereka semakin berat karena harus sekolah dari pagi hingga sore, sehingga masih merasa penerapan FDS belum perlu dilakukan.
Sementara pihak yang mendukung FDS, berpendapat bahwa pendidikan Indonesia sudah tertinggal dari negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah kebijakan yang bisa membuat kesejajaran itu dapat tercipta. Selain itu, FDS juga diterapkan untuk mencegah berbagai kenakalan remaja yang saat ini sudah semakin aneh tingkahnya.
Selain itu, pemerintah tentunya ingin menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang saat ini sedang dilakukan. Dengan diterapkannya kebijakan sekolah lima hari tersebut, tentu harapannya ialah tercipta SDM yang tangguh yang bisa menguasai aset-aset strategis negara dan mengelola kekayaan alam yang melimpah.
Ketua Komisi IV DPRD Sultra, Yaudu Salam Ajo menuturkan, tataran praktek di lapangan berbeda-beda, mulai dari sarana prasarananya hingga guru-guru. Sehingga perlu ada penegasan yang konkrit terkait kebijakan tersebut.
“Pembinaan karakter harus diperjelas. Permasalahannya selama ini hanya terfokus kepada kurikulum. Jadi setidaknya perlu juga adanya sosialisaai kearah mana kebijakan ini (lima hari sekolah, red),” ujar legislator asal Bau-bau ini.
Kasubag Peraturan Perundang-undangan I Biro Hukum dan Organisasi Kemendikbud, Rika Irdayanti menjelaskan, bahwa paradigma FDS yang disebarluaskan selama ini tidak sesuai dengan Permendikbud nomor 23 tahun 2017, dimana sebenarnya penekanannya tentang hari sekolah atau terkait lima hari kerja di sekolah. Adapun yang dimaksud hari sekolah, yakni jumlah hari dan jam yang digunakan oleh guru, tenaga kependidikan dan peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah kearah yang positif.
“Lima hari sekolah digunakan bagi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Jadi penekanannya bagaimana penerapan Program Pendidikan Karakter (PPK), dengan lebih ditekankan kepada kontrol guru,” ujar wanita berhijab ini.
Ia juga menjelaskan bahwa kebijakan tersebut didukung oleh orang nomor satu di Indonesia, Presiden Jokowi dengan akan mengeluarkan Perpres terkait lima hari sekolah.
“Harapannya ketika dilaksanakan kebijakan ini, maka satuan pendidikan harus membuka diri bekerja sama dengan lembaga lainnya,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sultra, Muh. Jafar mengatakan,
setiap kebijakan menimbulkan dampak positif dan negatif. Jadi tinggal dilihat dari segi manfaatnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan Kemendikbud untuk mempertimbangkan usulan-usulan yang disampaikan stakeholder dan masyarakat, mengingat kebijakan tersebut banyak juga menuai komentar miring dari masyarakat. (***)