Sarmadan, S.Pd., M.Pd.
Aparatur Sipil Negeri (ASN) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menempati posisi strategis dalam pembangunan dan kemajuan negara. Golongan ini menjadi elit-elit negara, duta negara yang diberikan kewenangan dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Dalam UU ASN Nomor 14 Tahun 2014 Pasal 10 dinyatakan bahwa fungsi ASN sebagai: 1) pelaksana kebijakan publik, 2) pelayan publik, 3) perekat dan pemersatu bangsa.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam mendukung aktualisasi fungsi ASN tersebut, pemerintah mencanangkan SMART ASN di tahun 2024. Indikator-indikator yang harus dicapai oleh SMART ASN yang selanjutnya kita sebut ASN Milenial, diantaranya adalah 1) ASN harus mampu menguasai teknologi informasi di era revolusi industri 4.0, 2) ASN pada tahun 2025 harus terampil berbahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan, 3) ASN harus mampu membangun link/jaringan untuk bekerjasama dengan pihak–pihak lain baik di dalam maupun di luar negeri, 4) ASN harus menjadi problem solving, artinya ketika ada permasalahan di tengah-tengah masyarakat, ASN Milenial mampu berpikir positif, berpikir sistematis dan logis untuk mencari jalan keluar dari permasalahan. ASN Milenial tidak ikut-ikutan menyebar hoax, sebaliknya memberikan pencerahan, kenyamanan, dan menetralisir segala sesuatu yang negatif menjadi positif.
Dalam menjalankan tri fungsi ASN sebagaimana yang disebutkan di atas, tentunya bukanlah merupakan sesuatu yang mudah bagi ASN Milenial. ASN Milenial dalam penerapan tupoksinya harus berdasarkan pada sikap bela negara, cinta tanah air, dan loyalitas kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ASN Milenial di era revolusi industri 4.0 tidak semata-mata menjalankan tugas administratif dan fungsional dalam rangka pelayanan publik, akan tetapi mereka harus jeli membaca isu-isu kontemporer. Selanjutnya merumuskan konsep pemecahan masalah atas masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan, dan kebangsaan.
Telah banyak isu-isu dan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh beberapa pihak, salah satunya pendapat Prof. Martin Jackues yang menyatakan bahwa pada tahun 2035 Indonesia akan masuk sebagai salah satu negara adidaya bersama Cina dan India. Di satu sisi penulis melihat pendapat ini ada benarnya sebagai motivasi memajukan Indonesia yang adil dan makmur. Namun demikian, di sisi lain perlu dianalisis lebih lanjut. Sebab di era revolusi industri 4.0 telah muncul peperangan gaya baru, yakni perang proksi (proxy war). Perang proksi adalah perang antardua negara atau aktor non-negara yang terjadi karena dorongan atau mewakili pihak lain yang tidak terlibat langsung di pertempuran. Adapun karakteristik dari perang proksi ini, yaitu menebar isu, menggiring isu, agenda, dan skema.
Perang proksi ini menggunakan cara-cara licik, penuh muslihat (tricky), yakni memakai pihak ketiga untuk menaklukkan lawan, proxy artinya wakil, jadi perang proxy adalah memberikan “mandat” perang kepada pihak ketiga, biasanya menggunakan negara lain yang lebih kecil atau bisa pula menggunakan aktor non-negara seperti ormas, LSM, kelompok masyarakat atau bisa juga melalui perseorangan. Relevansi antara pendapat Prof. Jackues dengan perang proksi tadi bahwa ada kemungkinan terdapat pesan tersembunyi di balik pendapatnya, misalnya untuk kepentingan negara-negara besar tertentu, atau ingin melihat bagaimana respon Indonesia, serta respon negara lain yang mempunyai kepentingan tehadap Indonesia.
Mencermati fenomena perang proksi ini, peran ASN Milenial sebagai pelaksana kebijakan, pelayan, serta sebagai perekat dan pemersatu bangsa harus ditopang oleh pemahaman terhadap wawasan kebangsaan yang paripurna. ASN Milenial harus memahami konsesus kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setidaknya dengan pemahaman wawasan kebangsaan tersebut, ASN Milenial tidak mudah tergiring di dalam perang proksi. Pemahaman konsesus kebangsaan menjadi kekuatan ASN Milenial untuk menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air, sikap bela negara, setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, bhinneka tunggal ika, dan memelihara keutuhan NKRI.
Dampak positif ASN Milenial yang memahami konsesus kebangsaan maka dalam aktualisasi pelaksanaan tupoksinya, ASN tersebut akan terhindar dari praktik pelanggaran kode etik maupun kode perilaku. Dengan demikian, penyakit yang menggerogoti bangsa seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), praktik pencucian uang, penyalahgunaan wewenang, ASN tidak produktif tidak akan ada lagi di bumi pertiwi. Ketika ASN Milenial mampu menghayati dan mengamalkan wawasan kebangsaan dengan baik dan benar, kami berasumsi bahwa jangankan mau melakukan praktik pelanggaran, memikirkannya pun akan jauh dari benak pikiran ASN. Oleh karena itu, ASN Milenial yang berpemahaman paripurna terhadap wawasan kebangsaan akan berandil besar terhadap perwujudan Indonesia Emas tahun 2045 dalam menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Penulis:
Sarmadan, S.Pd., M.Pd.
Dosen Universitas Sembilanbelas November Kolaka
Alumni Lemhannas Fellowship Program, Lemhannas RI Tahun 2015
Peserta Latsar CPNS Kemendikbud Tahun 2020