SULTRAKITA.COM, WAKATOBI – Persoalan status tanah Bandara Maranggo kembali di pertanyakan, sejumlah pemilik lahan di Desa Te’e Mo’ane, Kecamatan Tomia, mengadu ke DPRD Kabupaten. Wakatobi
Dalam diskusi yang di gelar di kantor DPRD Wakatobi, Senin 5 Juli 2021 lalu, La Molu A menyampaikan bahwa sudah kebeberapa kalinya pemilik lahan menuntut status tanah di dalam wilayah Lapangan Terbang (Lapter) Maranggo ini. Saat ini kami menunggu kepastian dari Pemerintah Daerah Wakatobi yang telah kami salurkan aspirasi melalui DPRD, ujarnya kepada sultrakita.com saat dikonfirmasi.
“Sebelum masuk di ruangan rapat, kami berdiskusi di teras bersama beberapa yang bekerja di DPRD dan ada juga beberapa dari instansi Pemda. Tentang persoalan status tanah yang mulai dikerjakan pada tahun 1998 sampai saat ini belum jelas status kontraknya sehingga kami dirugikan selama 24 tahun ini,” bebernya.
Molu menceritakan, pada saat terjadi diskusi, ada pak Rusdin yang dulunya menjabat sebagai Camat Tomia dan saat ini dia sudah menjabat sebagai Sekwan di DPRD Wakatobi dengan mengatakan bahwa kalau soal tanah itu sudah dibeli dengan harga Rp 300 juta dari lorens (PT. Wakatobi Dive Resort/WDR) dan 300 jutanya dibayar oleh Pemerintah yang status tanah saat itu masih menjadi aset Pemerintahan Buton.
“Pernyataan yang dikatakan pak Rusdin, langsung saya jawab kalau memang sudah dibayar tanah itu mana bukti suratnya, siapa yang membeli dan siapa yang menerima hasil jual tanah itu, ataukah dikontrak. Dan juga kenapa di dalam dokumen yang kami dapat ini hanya ditandatangani oleh ketua DPRD Buton dan Bupati Buton, pihak lahan tidak ada maupun Camat dan Kepala Desa. Tapi pak Rusdin hanya diam saja setelah saya menyatakan seperti itu,” kata Molu.
Ia menyampaikan kepada orang-orang yang menanyakan hal itu, bahwa soal cerita kasus tanah ini kami sudah ungkap di media online sultrakita.com yang judul beritanya “24 Tahun Permasalahan Ganti Rugi Lahan Bandara Maranggo Tomia” silahkan baca kisahnya kalau mau tahu awal terjadinya permasalahan ini.
Setelah usai diskusi saat itu, kami dipersilahkan masuk diruang rapat di DPRD. “Tapi sebelum masuk diruang rapat, Muhammad Ikbal salah satu anggota DPRD dapil Tomia menyampaikan kepada saya kalau pak Rusdin membisikinya untuk menekan kami karena tidak memiliki bukti-bukti yang kuat, setelah mendengar itu kami berdua saling melempar senyum sambil masuk ke dalam ruangan rapat,” bebernya.
Dalam rapat yang digelar di DPRD Wakatobi, Molu A menyampaikan aspirasinya dan menunjukan dokumen yang ia berhasil dapat beberapa waktu lalu melalui rekannya, sehingga bisa menjadi acuan bagi DPRD kepada Pemda Wakatobi untuk diproses kasus tanah milik beberapa warga Te’e Mo’ane dengan beberapa warga Patipelong.
Molu A juga menambahkan, sebelumnya sudah beberapa kali kami aksi secara simbolis dengan menanam tanaman di dalam area Lapter yang merupakan tanah miliknya, tapi dibakar dan dicabut oleh petugas bandara dengan mengancam untuk tidak dilakukan lagi.
“Beberapa kali saya tanami tanaman tapi dibakar dan dicabut lalu petugas bandara itu datang kerumah saya dengan membawah tanaman saya dengan nada mengancam. Kesekian kalinya terjadi hal itu, saya dan beberapa warga pergi melapor di kepolisian untuk usut pengrusakan tanaman, tapi Polsek Tomia tidak pernah mengusut hal itu,” ungkapnya.
Lanjut Molu, setelah kami masukan laporan pengrusakan tanaman pada Senin 17 Mei 2021 lalu dengan nomor laporan LP/06/V/2021/SULTRA/Res Wakatobi/Sek Tomia, 17 Mei 2021 hingga kami menunggu hasil penyelidikan yang tidak dilakukan, kami kembali menyambangi kantor Polsek Tomia. Pihak kepolisian menyampaikan kalau persoalan itu nanti dipertemukan dengan pihak WDR, Pemerintah Desa bersama Bupati dan pemilik tanah untuk dilakukan musyawarah bersama di Desa Te’e Mo’ane nanti.
“Hal lain juga yang kami herankan di batas wilayah Lapter ini sampai di jalan poros. Berarti beberapa rumah warga sudah masuk di dalam batas wilayah tersebut. Kami takutkan kedepannya nanti ada penggusuran rumah yang berpatok pada batas wilayah itu,” kesalnya.
Dari dulu kami sudah meminta kepada pihak Desa tapi tidak ada solusi hingga berlarut-larut sampai kami bergerak sendiri dan saya bersama beberapa warga menyebrang lautan menuju ibu kota Kabupaten Wakatobi di pulau Wangi-Wangi untuk menyampaikan aspirasi di DPRD Wakatobi.
“Disana kami diterima oleh Arman Alini yang juga sebagai anggota DPRD. Hingga saat ini kami masih menunggu hasil, semoga aspirasi kami bisa diproses secepatnya apalagi Bandara Maranggo itu sudah resmi menjadi aset Daerah Wakatobi. Jadi kalau Bandara itu beroperasi kembali, harus diperjelas dulu status tanah kami,” tutupnya. (AN)