KABUPATEN Wakatobi, Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah yang memiliki spot wisata alam khususnya di pulau Tomia seperti Pantai Hondue, Hutan Mangrove, Rawa Selo, Henda’opa, Te’e Wali, Puncak Tomia, Pantai Kampa, Pantai Polio, Pantai Huntete, Liangkurikuri, Ampombero, Pombero Lodge, Hongaha, Te’etimu dan lainnya merupakan target wisatawan.
OLEH: DARREN MALAIKAN (Fotografer)
Fosil sejarah cangkang kima yang tersebar di beberapa wilayah Bukit Waruu, Kecamatan Tomia Timur merupakan gambaran peradaban di masa lampau untuk dilindungi dan dilestarikan keberadaannya.
Berbicara pariwisata yang tentunya memiliki daya tarik yang beragam dan mengandung unsur estetik dan mengedukasi bagi penikmatnya. Terlebih pada wisata alam yang sangat banyak diminati oleh wisatawan karena mencari sudut yang berbeda dari wisata daerah lain. Jika fosil sejarah di gilas atau dihilangkan, maka bentuk pelestarian dari sumberdaya yang dimiliki pulau Tomia harus benar-benar diketahui terlebih dahulu sebelum pembangunan proyek beton menggilas fosil itu.
Salah satu bukti yang didokumentasikan oleh kawan saya Muh. Sukriman (Direktur Hengge Gallery) melalui akun youtubenya: Sukriman Penampo. Video yang berdurasi 04 menit, 47 detik itu, merupakan kondisi sebagian cangkang kima yang tidak terkena gilasan beton dari pembangunan proyek Taman Wisata Puncak Tomia di wilayah Bukit Waruu, Desa Kahianga.
Di puncak itu tinggal beberapa saja cangkang kima dengan ukuran satu meter dan lebar dua jengkal tangan orang dewasa. Selain itu, ada juga kima berukuran yang sama tapi, fosil itu digunakan sebagai tungku pembakaran oleh oknum yang tidak memahami arti dari fosil sejarah.
Fosil sejarah merupakan kisah di masa lampau yang konon air laut itu pernah menggenangi Bukit Waruu. Fosil seperti itulah yang harus dilestarikan dan dikembangkan menjadi salah satu daya tarik di dunia pariwisata.
“Pembuatan prasarana beton ini kan, harus dititik yang tidak produktif. Kalau ingin membuat sesuatu, harus melalui sosialisasi kepada masyarakat setempat agar mengetahui tujuan pembangunan itu.”
Membuat proyek beton, minimal dilakukan terlebih awal penelitian tentang keberadaan sejarah di pulau Tomia dan bekerjasama dengan para sejarawan atau tokoh adat yang mengetahui wilayah tersebut agar pembangunan daerah yang kita cintai ini tidak terkesan amburadul.
Bukan hanya ratusan fosil Kima atau kerang yang bahasa latin sebagai Tridacnidae saja tapi, ada ratusan fosil siput dan batu karang yang berusia ribuan tahun ada di hamparan padang rumput atau savana sepanjang tujuh kilometer di puncak Tomia masih melekat utuh di tanah dan bebatuan. Hal ini menunjukan bahwa seolah konfirmasi Pulau Tomia dan pulau-pulau lain di Wakatobi terbentuk dari karang yang tumbuh sejak ribuan tahun silam, hingga menjadi daratan yang dihuni oleh koloni manusia hingga saat ini.
Tentunya masyarakat setempat di pulau Tomia mengetahui hal itu, tapi tidak pernah ada tindakan serius untuk merawat fosil sebagai situs keajaiban dunia. Pihak Pemerintah Wakatobi juga tidak pernah menjadikan hal ini sebagai program pelestarian situs sejarah.
Sebelum masuknya taman beton Puncak Tomia ini, sudah terjadi program siluman. Awalnya di wilayah itu adalah tanah adat, sedangkan camat Tomia Timur di masa H. Najib mengklaim itu sebagai Tanah Lindung.
Disisi lain, Staf Dinas Pariwisata (Dispar) Wakatobi, saat bertandang ke puncak Tomia pada 13 September 2020 lalu telah melihat fosil kima tersebut. Bahkan Kepala Dinas Pariwisata, Nadar pernah mengatakan: “keberadaan fosil Kima di puncak Tomia terancam punah jika pemerintah tidak segera bertindak. Sebab ada beberapa fosil telah rusak. Bahkan tinggal bekasnya saja karena ulah penambangan batu”.
Pertanyaan saya adalah, kenapa pemerintah mengetahui hal itu namun tidak ada tindakannya, hanya memperparah keadaan dengan membuat taman puncak dan terbengkalai, bahkan masyarakat setempat tidak ada yang berani mengoperasikannya.
Fosil kima merupakan salah satu bentuk keajaiban dunia yang harus dilestarikan, serta diteliti fakta geologisnya, karena itu harapan kami kepada instansi terkait, agar jangan membuat program yang berpotensi merusak situs sejarah dan merusak alam. (*)