SULTRAKITA.COM, WAKATOBI – Salah satu spot wisata, Puncak Tomia yang berada di wilayah Bukit Waruu, Desa Kahianga, Kecamatan Tomia Timur, mendapat kucuran anggaran Rp 6 Miliar lebih yang diperuntukan pada pengerjaan proyek Penataan Kawasan Daya Tarik Wisata Puncak Kahianga dari Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Wakatobi.
Dari masuknya material proyek pada bulan Juli 2021, tiga kedai kopi harus tergusur karena masuk diwilayah aset Pemerintah Daerah (Pemda), Kabupaten Wakatobi.
Salah satu anggota Lembaga Adat di Desa Kahianga, La Ma’rufi (73) membantah status Puncak Tomia sebagai aset Daerah.
“Puncak Tomia di wilayah Bukit Waruu yang saat ini menjadi spot wisata itu merupakan tanah adat, bukan asetnya daerah,” ujarnya ketika dikonfirmasi, Sabtu (07/8).
Ma’rufi menyampaikan, di masa Pemerintahan, H. Nadjib Prasyad selaku Camat Tomia Timur saat itu mematok wilayah Puncak Tomia sebanyak 18 tiang dengan menggunakan pipa lalu disemen. Hal seperti ini sudah kami percayakan kepada Kepala Desa tapi tidak bertanggungjawab, maka harus diganti Kepala Desanya.
“Mengetahui hal pematokan itu, saya pergi kelokasi lalu saya cabut. Kenapa saya cabut patokan itu karena Pemerintah melakukan pekerjaan tanpa ada sosialisasi dengan masyarakat. Kepala Desa juga yang saat itu tidak pernah menyampaikan kepada masyarakat Kahianga. Apapun yang masuk di pulau ini harus sosialisasikan kepada masyarakat, apalagi itu Tanah Adat,” ucapnya.
Setelah besoknya, lanjut ia mengatakan, saat itu pelantikan ketua BPD Kecamatan Tomia Timur yang dipimpin oleh Camat, H. Nadjib dengan membeberkan pertanyaan kenapa tiang pematok di puncak tercabut semua?.
“Saya hadir ditengah pelantikan itu dan menjawab pertanyaan pak camat dan saya sampaikan bahwa pekerjaan Pemerintah lakukan tanpa musyawarah kepada masyarakat khususnya masyarakat Kahianga dan itu Tanah Adat. Beliau membantah, kalau lokasi itu sebagai Hutan Lindung. Pernyataan seperti itulah menjadi kebiasaan Pemerintah hingga saat ini bekerja tanpa beritahu atau sosialisasi kepada masyarakatnya hingga terkesan amburadul,” kesalnya.
Kelompok pemuda yang mendirikan Kedai Kopi Kahianga sangat menyayangkan mekanisme aset tersebut tidak pernah disosialisasikan terlebih dulu sejak awal pembangunan sekitar tahun 2014 lalu. Hingga bertahun-tahun tak terawat.
Beberapa anggota Kedai Kopi Kahianga menyampaikan, awalnya kami berniat membuat usaha kedai kopi ini sejak 2018 lalu dengan menggunakan fasilitas aset Pemda berupa gazebo dan diberikan ijin oleh pihak Pemerintah Desa, Camat hingga Dispar. Itupun sudah mulai rusak aset gazebo tersebut.
“Dari banyaknya gazebo di dalam taman Puncak Tomia, hanya satu gazebo yang bertahan karena kami rawat dan menjadi Kedai Kopi dari anggaran pribadi kami. Setelah tak layak pakai, kami pindah dan membuat Kedai Kopi itu atas ijin pihak Pemerintah, ungkapnya kepada sultrakita.com ketika dikonfirmasi. Kamis 5 Agustus 2021.
Sebelum adanya pembongkaran, kami dijanjikan untuk menunggu pihak Dispar Wakatobi akan menemui kami sebagai pelaku usaha kecil, tapi perantara kabar melalui pekerja proyek untuk segera pembongkaran kedai. Kami menilai hal ini sangat amburadul. Dari awal sebelum adanya spot wisata Puncak Tomia, tidak ada informasi atau sosialisasi dari Pemerintah hingga penataan kembali di tahun 2021 ini.
“Maka kami masyarakat setempat tidak mengetahui tujuan aset itu, akan diapakan, siapa yang kelola dan jangka panjangnya seperti apa. Kami juga berharap, hal apapun yang dibuat oleh Pemerintah, harus ada manfaat kepada masyarakat. Kami tidak menghalang-halangi tapi, terapkanlah sisi kemanusiaan dari jabatan untuk masyarakat khususnya pelaku usaha kecil,” tutupnya. (AN)