SULTRAKITA.COM – Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Pokok Agraria tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), kepemilikan hak atas tanah harus dikuasai oleh suatu hak atas tanah berdasarkan sertifikat. Artinya Surat Keterangan Tanah (SKT) dan SPPT atau Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukan bukti kepemilikan hak atas Tanah.
Sebagaimana diatur dalam UUPA tahun 1960 beserta seluruh peraturan terkait, serta turunannya, maka sangat jelas kepemilikan hak atas tanah wajib dibuktikan dengan sertifikat. Jadi jika seseorang mengklaim sebagai pemilik sebuah lahan, maka ia harus membuktikannya dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Secara hukum, tanah non-sertifikat, misalnya tanah girik atau tanah berdasarkan SKT dari Kepala Desa/Lurah dan Camat sebenarnya bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah. Girik hanya merupakan bukti bahwa pemegang girik tersebut diberikan kuasa untuk menguasai tanah dan sebagai pembayar pajak atas tanah yang dikuasainya. Demikian juga dengan SKT, hanya dapat dibuat guna menyaksikan kebenaran pernyataan subjek pendaftaran hak atas tanah pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota, dimana SKT tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan kebenarannya perlu di uji oleh pejabat yang berwenang, karena menurut UUPA Tahun 1960, kepemilikan hak atas tanah harus dikuasai oleh suatu hak atas tanah berdasarkan sertifikat. Dengan demikian, surat girik maupun SKT tidak dapat dipersamakan dengan sertifikat hak atas tanah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Hak atas Tanah, sebagaimana dalam BAB IV Pasal 11 telah ditegaskan, yang berwenang memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah, jika luasannya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, bukanlah berada ditangan Kepala Desa, melainkan menjadi wewenang Kepala Kecamatan.
Untuk jelasnya, ketentuan hukum dari Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Kepala Kecamatan memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah jika luasnya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu”.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan alasan apapun, Kepala Desa/Lurah sebenarnya tidak mempunyai wewenang menerbitkan ijin membuka tanah kepada siapapun.
Wewenang pemberian ijin membuka tanah seperti dimaksud dalam Bab IV Pasal 11 Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut, sejak tahun 1984 sudah tidak bisa lagi dipergunakan/dilakukan, baik Kepala Desa/Lurah maupun Camat di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Pasalnya, wewenang memberikan ijin membuka tanah itu sudah dibatalkan atau dicabut oleh Menteri Dalam Negeri melalui surat instruksinya No.593/ 5707/SJ tertanggal 22 Mei 1984, dimana disampaikan kepada para Gubernur se-Indonesia.
Selanjutnya dipertegas dalam salah satu Yurisprodensi Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor: 91 K/Pdt/2016, berkepala DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, dalam kesimpulan Hal 34 — 35 ditegaskan pada poin 1.3, Bahwa sejak berlakunya UUPA yakni diterbitkannya Peraturan Mendagri No 6 Tahun 1972 izin membuka tanah menjadi kewenangan Bupati/Walikota serta Camat dibantu oleh Kepala Desa. Tetapi pada Tahun 1984 wewenang Camat yang dibantu oleh Kepala Desa tersebut dicabut melalui Instruksi Mendagri No. 593/5707/SJ tanggal 22 Mei 1984.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka SKT yang di buat oleh Camat atau Kepala Desa adalah praktek-praktek yang melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya terhadap kebijakan dalam bidang pertanahan, sebab secara hukum Camat/Kepala Desa tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan izin membuka tanah yang statusnya merupakan tanah yang dikuasai langsung negara atau tanah hak pengelolaan.
Kemudian hal terkait pembekuan hak atas tanah sesuai UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah tindakan administrasi Kepala Kantor Pertanahan untuk menetapkan keadaan status guo (pembekuan) pada hak atas tanah sesuai UUPA yang bersifat sementara terhadap perbuatan hukum dan peristiwa hukum atas tanah tersebut. Hak atas tanah yang buku tanahnya terdapat catatan blokir, tidak dapat dilakukan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pemblokiran tanah itu dilakukan terhadap hak atas tanah atas perbuatan hukum atau peristiwa hukum, atau karena adanya sengketa atau konflik pertanahan yang perkara keperdataan di pengadilan.
Terkait dengan sengketa pertanahan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan Pasal 1, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 1/1999 menyebutkan makna sengketa yaitu :
“ Perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut”.
Menyoal Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Ceria Nugraha Indotama yang melakukan kegiatan di Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), seluas 6.785 Ha, dikenal dengan sebutan Blok Lapao-Pao, secara histori merupakan wilayah pertambangan eks Kontrak Karya PT INCO,Tbk sejak Tahun 1968 sesuai Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT International Nikel Indonesia (PT INCO, TBK) tanggal 27 Juli 1968.
Selanjutnya KK PT INCO di perpanjang sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. B-745/Pres/12/1995 tanggal 29 Desember 1995, selama 30 Tahun hingga tahun 2025, berdasarkan Pasal 18 UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara RI Tahun 1967 No 22 dan Tambahan Lembaran Negara RI No 2831).
Blok Lapao-Pao merupakan salah satu wilayah Kontrak Karya PT INCO, Tbk yang diciutkan dan dikembalikan ke negara berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 483.K/30/DJB/2020 tentang Penciutan III Wilayah Kontrak Karya Pada Tahap Kegiatan Operasi Produksi PT INCO, TBK. Selanjutnya PT Ceria Nugraha Indotama memperoleh WIUP Blok Lapao-Pao melalui proses lelang berdasarkan Pasal 51 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Karena WIUP PT Ceria Nugraha Indotama dengan sebutan Blok Lapao-Pao adalah Eks Kontrak Karya PT INCO, Tbk sejak 1968 mendapatkan penegasan tentang bidang-bidang tanah diatas usaha pertambangan dalam Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diatur dalam Pasal 27 ayat 5 “Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri”.
Merujuk pada sistem hukum nasional yang bersumber pada UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria, serta rekomendasi DPRD Provinsi Sultra melalui surat nomor 160/451 tanggal 6 September 2021, maka Manager legal PT Ceria Nugraha Indotama, Moch Kenny Rochlim,SH,MH memberikan pokok-pokok pemikiran, sekiranya dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap penegasan status kepemilikan hak atas tanah dengan bukti tertulis menurut hukum yang berlaku.
Keseluruhan hak atas tanah dibukukan dalam bentuk Sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN mengeluarkan duplikat kepada pemilik tanah untuk mencegah risiko di kemudian hari, seperti: sertifikat hilang, terbakar, maupun sertifikat ganda. Di Indonesia, status kepemilikan tanah diatur dalam jenis status kepemilikan tanah ada beberapa tingkatan, yaitu: 1. Hak Milik 2. Hak Guna Bangunan 3. Hak Guna Usaha 4. Hak Pakai 5. Hak Satuan Rumah Susun, sementara Tanah girik / petok f rincik / ketitir / verponding, adalah merupakan tanah bekas hak milik adat yang belum didaftarkan atau disertifikasi pada Badan Pertanahan setempat. Tanah girik / petok / rincik / ketitir / verponding bukan tanda bukti atas kepemilikan tanah, melainkan bukti bahwa pemilik girik adalah pembayar pajak (PBB) dan pengelola tanah milik adat atas bidang tanah tersebut serta bangunan di atasnya.
Mengingat bahwa bukti kepemilikan tanah yang secara hukum diakui adalah dalam bentuk sertifikat, maka SKT, SPPT atau Pajak (PBB) bukanlah suatu hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, yaitu: pendaftaran tanah meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam konteks ini, pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a yaitu kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Pasal 3 huruf a yang dimaksud adalah Pendaftaran tanah bertujuan: untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hakhak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa sertifikat hak atas tanah adalah alat bukti kepemilikan suatu hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah. Sertifikat atas tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak atas tanah tersebut berdasarkan Pasal 31 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kemudian dalam pasal 32 ditegaskan bahwa sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Sementara klaim kepemilikan diluar ketentuan pasal 3 huruf a tidak dianggap sebagai bukti kepemilikan hak.
Terkait adanya klaim sepihak dengan mengacu pada bukti SKT/SPPT/NJOP/PBB bukan merupakan hak kepemilikan, sebab status kepemilikan hak atas tanah tersebut adalah dalam bentuk sertifikat.
Demikianpun ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 175 ayat 1 dan ayat 4 :
Ayat 1 “Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB sebelum melakukan kegiatan Usaha Pertambangan wajib menyelesaikan hak atas tanah dalam WIUP atau WIUPK dengan pemegang hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ayat 4 “Kompensasi berdasarkan luasan tanah dan/atau benda yang berada di atas tanah yang akan diusahakan untuk kegiatan Usuha Pertambangan oleh pemegang IUP, IUPK, atau SIPB dan tidak memperhitungkan nilai potensi komoditas Mineral atau Batubara”
Menurut Kenny, penegasan Pasal 175 ayat 1 dan 4 yang dijalaskan diatas terkait konpensasi penyelesaian hak atas tanah dalam wilayah pertambangan apabila pemegang hak atas tanah sesuai peruturan perundang-undangan bidang Pertanahan.****